Kibar News, Konsel — Forum sosialisasi Permendagri Nomor 14 Tahun 2025 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2026, yang sejatinya berlangsung tenang di Hotel Wonua Monapa, Kabupaten Konawe Selatan, mendadak bergemuruh, Rabu (22/10/2025).
Sumber getarannya bukan dari mikrofon rusak, melainkan dari suara lantang Ketua DPRD Bombana, Iskandar, SP, yang menumpahkan kekesalannya di hadapan pejabat Provinsi Sultra dan perwakilan Kementerian Dalam Negeri.
Nada bicaranya meninggi, tegas, dan penuh amarah yang tak bisa lagi ditahan.
“Kami di Indonesia Timur ini adalah daerah penyumbang besar bagi keuangan negara, tapi justru diperlakukan tidak adil. Tahun lalu Dana Bagi Hasil (DBH) kami mencapai minimal Rp200 miliar, sekarang hanya tinggal kebagian Rp50 miliar!” seru Iskandar di tengah forum, membuat suasana ruangan mendadak senyap.
Iskandar, dengan wajah serius dan tangan mengepal di atas meja, menatap tajam ke arah jajaran pejabat yang hadir.
Ia melanjutkan, bahwa selama ini daerah-daerah di Indonesia Timur, khususnya Kabupaten Bombana, telah menjadi urat nadi perekonomian nasional, menyumbang dari hasil tambang yang setiap harinya diangkut keluar negeri.
Namun, aliran rupiah yang kembali ke daerah justru tak sebanding.
“Jangan samakan kebutuhan dan karakter daerah kami dengan wilayah Jawa! Kami menanggung kerusakan akibat tambang, kami menanggung limbah, kami menanggung jalan rusak dan laut tercemar! Tapi transfer daerah kami terus menyusut, seolah kami ini tidak punya kontribusi apa-apa,” ujarnya dengan suara bergetar namun berwibawa.
Kata-katanya seperti cambuk, menghantam ruang birokrasi yang selama ini terlalu nyaman dengan angka-angka di atas kertas.
Beberapa kepala daerah dan peserta forum tampak mengangguk setuju. Mereka tahu, apa yang diucapkan Iskandar bukan sekadar keluhan — melainkan jeritan panjang daerah-daerah penghasil di Indonesia Timur yang terlalu lama diperlakukan sebagai “halaman belakang” republik.
“Kami tidak minta lebih dari yang menjadi hak kami. Tapi jangan rampas bagian kami! Kami ini yang menyumbang devisa negara dari tambang, tapi rakyat kami yang menanggung kesengsaraan di lapangan. Sementara pusat duduk manis menikmati hasilnya,” ujar Iskandar, pada saat diwawancarai usai sosialisasi tersebut.
Forum sosialisasi Permendagri yang digelar oleh Sekretariat Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara itu sejatinya dimaksudkan untuk menyeragamkan panduan penyusunan APBD 2026. Namun, bagi Iskandar, forum tersebut menjadi panggung perjuangan moral dan harga diri daerah.
Ia menegaskan, DPRD Bombana tidak akan tinggal diam melihat kebijakan fiskal yang mengebiri kemampuan daerah dalam membangun dan menyejahterakan rakyatnya.
“Negara ini tidak hanya dibangun dari Jakarta! Ada keringat dari timur, ada darah rakyat Bombana dan Sultra yang menetes di tanah tambang. Jadi jangan ajari kami arti kontribusi — ajari kami arti keadilan!” ucapnya
Pernyataan Iskandar, SP, yang juga Ketua DPC PKB Bombana itu, kini menjadi perbincangan hangat. Bukan karena ia marah, tapi karena ia berani berkata lantang apa yang selama ini ditahan banyak kepala daerah.
Dalam satu kalimat, Iskandar telah menyalakan kembali bara semangat daerah penghasil — bahwa Indonesia Timur tidak boleh terus menjadi penonton di tanahnya sendiri.
Komentar