Interpelasi Membuat Riuh: Puan Maharani Angkat Suara

KIBAR.NEWS, JAKARTA – Ketua DPR, Puan Maharani, menyuarakan pandangannya terkait potensi interpelasi DPR yang muncul setelah pengakuan eks Ketua KPK, Agus Rahardjo, mengenai dugaan intervensi Presiden Joko Widodo terhadap kasus korupsi yang melibatkan Setya Novanto pada 2017.

Puan menekankan komitmen DPR untuk menjunjung tinggi supremasi hukum, sambil menyatakan bahwa usulan interpelasi adalah hak anggota dewan yang harus dihargai. “Kami menjunjung supremasi hukum yang ada. Jadi yang kami kedepankan adalah bagaimana menjalankan supremasi hukum itu secara baik-baik dan benar. Bahwa kemudian ada wacana atau keinginan dari anggota untuk melakukan itu, itu merupakan hak anggota,” kata Puan di kompleks parlemen pada Selasa (5/12).

Baca Selengkapnya  Jaga Keamanan TPS Pemilu 2024, Ribuan Satlinmas Konsel Dikukuhkan

Meskipun Puan memberikan penghormatan terhadap hak interpelasi, dia menegaskan bahwa DPR akan mempertimbangkan apakah interpelasi diperlukan dalam konteks kasus tersebut, sambil menjamin penghormatan terhadap supremasi hukum.

“Kami juga akan mencermati apakah hal itu diperlukan atau tidak. Yang penting bagaimana supremasi hukum itu bisa berjalan secara baik dan benar,” ujar Puan.

Hak interpelasi, yang merupakan salah satu hak istimewa DPR, memungkinkan lembaga tersebut untuk meminta keterangan dari pemerintah terkait kebijakan pemerintah yang dianggap penting dan strategis.

Baca Selengkapnya  Kunjungi Pesantren, Burhanuddin Pastikan Prioritas Pendidikan Agama

Sesuai dengan Pasal 194 UU Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MD3, interpelasi dapat diajukan jika didukung oleh minimal 25 anggota DPR dan lebih dari 1 fraksi.

Pernyataan kontroversial Agus Rahardjo dalam program acara Rosi di Kompas TV, di mana ia mengungkapkan bahwa Presiden Jokowi meminta penghentian penyelidikan kasus e-KTP pada 2017, menjadi pemicu wacana interpelasi.

Baca Selengkapnya  Pemerintah Sahkan UU ASN Terbaru

Agus menyatakan bahwa penolakan KPK terhadap permintaan tersebut dapat berhubungan dengan revisi UU KPK pada 2019, yang memberikan kekuasaan eksekutif atas KPK dan memungkinkan penerbitan SP3 atau penghentian kasus.

Komentar