PERHAPI Sultra: Evaluasi RKAB Tahunan Ancam Ekonomi Daerah Tambang

Kibar News, Kendari – Wacana perubahan masa berlaku Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) dari tiga tahun menjadi satu tahun, termasuk terhadap RKAB yang telah disetujui hingga 2026, menuai kekhawatiran luas di kalangan pelaku industri pertambangan.

Kebijakan yang digulirkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI melalui Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) ini dinilai dapat mengganggu kepastian hukum dan mengancam keberlanjutan investasi yang telah berjalan.

Baca Selengkapnya  Surunuddin Ajak Stakeholder Bersinergi Atasi 4 Soal Ini..

Ahmad Faisal, S.T., Juru Bicara Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI) Sulawesi Tenggara, dengan tegas menyatakan bahwa kebijakan tersebut sangat merugikan banyak pihak, terutama perusahaan yang sudah mengalokasikan dana besar untuk operasional, jasa konsultan, serta menjalin kontrak jangka panjang dengan investor berdasarkan persetujuan RKAB yang berlaku hingga akhir 2026.

“Kebijakan ini justru bertentangan dengan semangat Asta Cita,” tegas Ahmad Faisal, yang juga pernah menjabat sebagai pengurus pusat PERHAPI mendampingi Ketua Umum BPP PERHAPI periode pertama, Prof. Irwandy Arif.

Ia mengungkapkan bahwa kebijakan sepihak ini telah menggerus kepercayaan publik terhadap pemerintah, sekaligus menimbulkan keresahan di kalangan investor dan penyedia jasa alat berat.

Dampaknya tak hanya dirasakan oleh perusahaan, tetapi juga merembet hingga ke masyarakat di sekitar wilayah tambang yang selama ini turut menikmati efek ganda dari aktivitas pertambangan.

Menurut Faisal, dampak dari kebijakan ini sangat luas. Mulai dari terhentinya operasional alat berat, terganggunya arus penerimaan negara, hingga penurunan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di berbagai wilayah pengguna RKAB.

Baca Selengkapnya  Atasi Inflasi, Bombana Jalin Kerjasama dengan Pemkab Sidrap dan Bantaeng

“Yang lebih mengkhawatirkan, penghentian aktivitas di lapangan bisa memicu lonjakan pengangguran dan berpotensi meningkatkan angka kriminalitas. Ini jelas mengganggu stabilitas sosial masyarakat,” ujarnya.

Ia bahkan menyoroti kondisi geografis wilayah tambang yang tersebar di pelosok, termasuk di daerah kepulauan yang harus ditempuh melalui jalur laut. Ketika penyedia jasa alat berat harus menghentikan operasional akibat kebijakan mendadak, mereka dirugikan secara signifikan—padahal kehadiran mereka sebelumnya mengacu pada RKAB yang telah disetujui pemerintah.

“Kita berbicara soal konsistensi. Pemerintah mengklaim menerapkan prinsip Good Governance, tapi kenyataannya justru membatalkan sendiri referensi yang mereka setujui,” kritik Faisal.

Tak hanya itu, ia juga mengingatkan bahwa kebijakan ini berpotensi membuka keran impor karena berkurangnya pasokan bahan baku ke industri dalam negeri. Hal ini, menurutnya, bisa menjadi ancaman nyata bagi kemandirian sektor pertambangan nasional.

Baca Selengkapnya  Usaha Rumahan Gula Merah Di Kolaka Utara Butuh Bantuan Pemerintah

Menanggapi situasi ini, PERHAPI Sultra menyerukan penolakan tegas atas keputusan Kementerian ESDM tersebut. Ahmad Faisal mendesak agar Badan Pengurus Pusat (BPP) PERHAPI, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), serta seluruh pemerhati pertambangan di tingkat lokal maupun nasional bersatu menyuarakan penolakan.

“Jika perlu, kita lanjutkan perlawanan ini hingga ke Mahkamah Konstitusi melalui Judicial Review,” tegasnya.

Ia juga memastikan bahwa isu ini akan menjadi fokus utama dalam forum Temu Profesi Tahunan XXXIV PERHAPI yang akan digelar pada November mendatang di Palembang.

Di forum tersebut, komunitas ahli pertambangan berencana memberikan kontribusi pemikiran konkret untuk mengkaji dan mencari solusi atas kebijakan yang dianggap kontraproduktif ini.

Baca Selengkapnya  Masa Depan Bersih: PT Vale Susuri Jejak Keberlanjutan dalam Industri Pertambangan Global

Komentar