Oleh: Faisal Rojihisawal,
KIBAR.NEWS, OPINI- Pesta raya bangsa Indonesia semakin dekat. Pesta demokrasi yang dinantikan dan dijalankan setiap 5 tahun sekali ini menjadi momen yang penting untuk menentukan sosok pemimpin yang nantinya diharapkan dapat mengemban amanah yang diberikan oleh masyarakat Indonsia. Pesta ini disebut dan dikenal dengan sebutan pemilu, memilih pemimpin dengan berpegang pada prinsip luber dan jurdil (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil).
Suatu kegiatan yang paling identik dengan pemilu adalah kampanye. Kegiatan ini dilakukan dengan mempekenalkan diri kepada seluruh masyarakat dan kerap mengobral janji-janji dengan tujuan masyarakat tertarik untuk memilihnya. Hal ini sepertinya lumrah dan sudah diketahui masyarakat. Bahkan, tidak sedikit dari masyarakat yang terpengaruh tanpa berpikir panjang, meski janji-janji tersebut tidak sedikit yang diingkari.
Bagaimana menyikapi fenomena tersebut? Apakah dapat dibenarkan atau malah sebaliknya? Janji-janji kampanye adalah suatu pemanis bahasa, di mana calon kontestan pemilu menyebutkan visi dan misinya ke depan. Dalam agama diajarkan bahwa setiap orang harus terus optimistis untuk kehidupan selanjutnya dengan dituntun visi dan misk kehidupan.
Dengan adanya visi misi, setidaknya seorang calon pemimpin atau wakil rakyat dapat berdiri dan berjalan sesuai dengan apa yang telah direncanakannya. Dan yang pasti tetap harus berpegang teguh pada ajaran keagamaan.
Dalam hadits, Nabi menyebutkan, yang artinya kurang lebih, ’’setiap di antara kalian adalah pemimpin, dan semua akan dimintai pertanggungjawaban…..” (HR Al-Bukhari No 893)—lihat Muhammad bin Ismail, Shahih al-Bukhari No 893. Hadits tersebut menegaskan bahwa semua orang adalah pemimpin, dan semua orang yang memimpin akan diminta darinya tanggung jawab atas kepemimpinannya. Baik memimpin diri sendiri, rumah tangga, pekerjaan atau bahkan memimpin masyarakat. Hal ini tentunya juga siapa orang yang memimpin dan apa yang telah disumbangkan dalam kepemimpinannya, terutama semua yang telah dijanjikannya
Mengucapkan janji adalah suatu yang sangat mudah. Namun untuk menepatinya adalah hal yang sering menjadi permasalahan. Tak dapat dipungkiri pula hal ini terjadi pada setiap kampanye. Terkadang seorang calon mampu menyebutkan dengan lantang janji-janjinya sebelum terpilih. Namun ketika telah terpilih menjadi pemimpin dia melupakan sebagian besar janji-janjinya. Ini tentunya dilarang oleh agama karena dia berbohong dan membohongi setiap orang.
Nabi menyebutkan orang yang tidak menepati janji atau berkhianat adalah salah satu ciri orang yang munafik.
’’Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, Ada empat tanda seseorang disebut munafik. Jika salah satu perangai itu ada, ia berarti punya watak munafik sampai ia meninggalkannya. Empat hal itu adalah: jika berkata, berdusta; jika berjanji, tidak menepati; jika berdebat, ia berpaling dari kebenaran; jika membuat perjanjian, ia melanggar perjanjian (mengkhianati).” (HR Bukhari dan Muslim) [HR Bukhari, No 2459, 3178 dan Muslim, No 58]
Hadits di atas secara jelas menerangkan bahwa ada beberapa tanda-tanda orang yang munafik. Di antaranya adalah ketika membuat janji, menghianati janji tersebut. Ini setidaknya menjadi peringatan pula bagi seluruh calon pemimpin atau yang berkontestasi dalm pemilu saat berkampanye agar berhati-hati membuat janji.
Dalam Al-Qur’an disebutkan di beberapa ayat. Di antaranya, ’’Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji! Dihalalkan bagimu hewan ternak, kecuali yang akan disebutkan kepadamu (keharamannya) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah). Sesungguhnya Allah menetapkan hukum sesuai dengan yang Dia kehendaki.’’ (QS Al-Maidah (5): 1).
Dalam ayat lain,’’Tepatilah janji dengan Allah apabila kamu berjanji. Janganlah kamu melanggar sumpah (mu) setelah meneguhkannya, sedangkan kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.’’ (QS An-Nahl (16): 91)
Janji adalah utang dan hal tersebut wajib dipenuhi. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pemilu adalah ajang kebaikan, maka jangan sampai dicacatkan oleh kebohongan janji palsu. Semua visi dan misi harus dilandasi dengan hal-hal yang telah dipersiapkan dengan matang.
Penulia adalah Alumnus Jurusan Ilmu Hadits Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Santri Pondok Pesantren Dar Al-Qur’an Pamulang
Komentar