Politik Kehadiran dan 79 Tahun Indonesia Merdeka

KIBAR.NEWS, Jakarta – “Jika hatimu penuh cinta, maka tidak ada ruang untuk kebencian”

Kutipan di atas adalah sajak cinta dari seorang filsuf ternama, Jalaluddin Rumi. Cinta ibarat permata yang kilaunya semesta. Berharga dan selalu ada di titik sanubari setiap manusia.

Ada banyak pesan cinta dan pelajaran sepanjang perjalanan politik yang saya lalui beberapa tahun terakhir. Membuka mata dan batin betapa pentingnya politik kehadiran di semua ruang dan sepanjang waktu.

Politik kehadiran adalah konsep ilmu politik yang mengacu pada tindakan nyata dan turut memacu partisipasi publik. Partisipasi yang dimaksud bukan hanya berlaku kepada masyarakat saat menyalurkan hak politiknya, tetapi paling utama adalah pelaku politik selalu hadir di tengah masyarakat tanpa melihat kelas sosial dan momentum politik belaka.

Dari partisipasi yang terbangun oleh dua entitas ini, akan terus meneguhkan kodrat sosial kita. Saling berbagi dan semakin menguatkan. Sebagaimana falsafah para leluhur yang tak lekang oleh zaman.

Dalam perjalanan politik hingga di desa-desa terpencil, saya banyak menemukan masyarakat yang tidak berharap materi. Dikunjungi saja, sudah lebih dari cukup. Mereka ingin ada yang mendengarkan keluh kesahnya. Berharap ada perantara yang memperjuangkan nasibnya.

Kehidupan yang sulit menjadi guru bagi mereka yang tak tersentuh tangan kekuasaan. Mau tidak mau, keadaan memaksa untuk tetap bertahan sekalipun rumit.

Potret kehidupan masyarakat ini lah yang tak lelah menggerakkan kaki saya untuk turun langsung di lapangan. Mengidentifikasi masalah dari berbagai sudut pandang. Berdiskusi untuk memperkaya perspektif serta mencari solusi dengan aksi.

Namun demikian, upaya ini tidak semulus yang dipikirkan. Sebaik apapun gerakan politik kehadiran yang kita lakukan, pasti ada sebagian orang yang punya pemikiran berbeda. Ada menilai lebay atau sebaliknya mendapat apresiasi.

Perbedaan pandangan dalam dialektika kehidupan sebuah niscaya. Sunatullah. Sebab, manusia dilahirkan dengan berbagai potensinya dan hidup di lingkungan yang memiliki latar belakang yang beragam. Sesuatu yang muskil bila pandangan atau sikap politik diseragamkan, disatukan dalam “kiblat” yang sama.

Akan tetapi, perbedaan jangan dijadikan sebagai bahan bakar untuk terus menyulut rasa kebencian. Perbedaan tidak bisa ditempatkan pada ruang yang sempit. Dimensinya harus lebih luas dan dimaknai sebagai bagian dari dinamika kehidupan dalam membangun khazanah pengetahuan.

Perbedaan mutlak untuk dihormati. Sebab secara sadar, karena perbedaan lah, membentuk saya hingga berada di level saat ini. Perbedaan adalah kekayaan yang kita miliki. Membuat dunia menjadi lebih berwarna dan menarik.

Dengan adanya perbedaan, kita dapat terus belajar tentang sudut pandang, bertumbuh melalui interaksi yang heterogen serta memacu inovasi untuk menciptakan ide baru. Perbedaan ini akan terkelola dengan baik bila politik kehadiran terus dijalankan. Mari menghadirkan cinta.

***Makna Kemerdekaan

Berita tentang pasukan pengibar bendera pusaka (paskibraka) Tahun 2024 yang “terpaksa” melepas hijab saat mengikuti pengukuhan oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, memantik diskursus publik.

Peristiwa ini jelas akan mempertanyakan kembali makna kemerdekaan itu. Penampilan diseragamkan dengan menomorduakan keyakinan identitas individu. Seragam jelas berbeda dengan beragam. Seragam ibarat benda mati, sedangkan beragam adalah identitas yang hidup bersama pribadi manusianya.

Fenomena ini adalah sekelumit perjalanan bangsa Indonesia sejak 79 tahun lalu berdiri. Ada banyak peristiwa yang menyentuh nurani. Saban hari, media massa mengabarkan adanya warga wafat di saat perutnya kosong. Atau memilih mengakhiri hidup karena alasan ekonomi.

Kejadian ini kontras dengan sumber daya kita yang kaya raya. Bertolak belakang dengan budaya ketimuran kita yang menjunjung tinggi rasa kemanusiaan. Seakan, nilai-nilai Pancasila sebatas slogan semata bagi mereka yang papah.

Peristiwa di atas mestinya tidak terjadi bila kekuasaan dikelola dengan baik dan berpihak ke mereka yang termarjinalkan. Begitu pula masyarakatnya, tidak tersandera dalam kotak perbedaan akibat momentum lima tahunan.

Pada momentum Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia ke-79 ini, perlunya merefleksi apa yang terjadi di belakang, serta melihat kembali tatanan sosial di bawah. Hal ini sebagai upaya perbaikan menuju Indonesia yang lebih baik. Mewujudkan kemerdekaan itu nyata adanya. Tidak hanya seremonial belaka melainkan esensi kemerdekaan dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, tanpa terkecuali.

Sebab, kemerdekaan adalah salah satu tujuan akhir dari perjuangan yang panjang. Namun, kemerdekaan tidak hanya berhenti karena bebas dari belenggu penjajahan, melainkan terus berproses untuk terus memenuhi hak dasar masyarakat Indonesia.

Semoga di usia kemerdekaan Indonesia yang ke-79 ini, rakyatnya semakin sejahtera, bersatu padu dalam prinsip kemanusiaan. Tatanan sosial tidak terkoyak hanya karena momentum politik semata. Begitu pula kepada para pemimpinnya. Amanah terhadap tanggung jawab, menjadikan tugas sebagai amal jariyah di akhirat kelak.

Dirgahayu Republik Indonesia ke-79

Mari Menghadirkan Cinta

Penulis adalah Ketua DPW PKB Sulawesi Tenggara

Komentar