Kibar News, Bombana – Ketegangan kembali memuncak di tengah masyarakat Bombana setelah sebuah pesan suara berisi penghinaan terhadap Mokole Moronene beredar luas.
Heryanto, S.KM., salah satu lawan politik Burhanuddin, M.Si di Pilkada Bombana 2024., diduga menjadi sumber pesan tersebut. Ucapan Heryanto yang sarat dengan ujaran kebencian telah mencoreng kehormatan para pemimpin adat Moronene, termasuk Mokole Poleang, Mokole Kabaena, dan Mokole Rumbia.
Dalam rekaman tersebut, Heryanto menggunakan bahasa kasar dan merendahkan, yang dianggap sebagai penghinaan serius terhadap adat Moronene.
Heryanto, yang sebelumnya terlibat dalam reaksi keras terhadap pernyataan Burhanuddin di Desa Matubundu, Kecamatan Poleang Barat, dianggap mengabaikan nilai-nilai budaya yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat setempat.
Sikap yang Tidak Menghormati Tradisi?
Pernyataan Burhanuddin yang menghubungkan dirinya dengan garis keturunan Raja Pertama Moronene, Dendeangi, seharusnya dipandang sebagai bentuk penghormatan terhadap sejarah dan budaya daerah.
Namun, alih-alih merespons dengan bijak, Heryanto justru menimbulkan polemik dengan menghina simbol-simbol adat yang sakral bagi masyarakat Moronene.
Keberanian Heryanto melontarkan dugaan ujaran kebencian ini menunjukkan ketidakpeduliannya terhadap adat istiadat lokal. Tindakan ini dapat diartikan sebagai cerminan bahwa Ia yang tidak menghargai budaya setempat dan, lebih luas lagi, kurang memahami betapa pentingnya menjaga keharmonisan sosial di Bombana.
Ini menjadi pertanyaan besar bagi masyarakat: Apakah orang-orang seperti ini pantas mendukung seorang pemimpin yang akan membawa perubahan di daerah?
Langkah Tegas Para Pemimpin Adat
Dalam pertemuan penting yang dihadiri perwakilan dari tiga kerajaan Moronene di Tongkoseng, Kecamatan Tontonunu, para Mokole sepakat bahwa penghinaan ini tidak dapat dibiarkan tanpa konsekuensi. Mereka mendesak penyelesaian secara adat dengan sanksi Kohala Ea, yang berarti pelanggaran besar.
Apabila dalam dua minggu tidak ada itikad baik dari pihak Heryanto untuk menyelesaikan perkara ini melalui jalur adat, kasus ini akan dilanjutkan ke ranah hukum dengan melibatkan Cybercrime Polda Sulawesi Tenggara.
“Ini bukan masalah kecil. Penghinaan terhadap Mokole adalah penghinaan terhadap seluruh masyarakat Moronene,” ujar Mokole Patani Mohammad Ali, salah satu pemimpin adat yang ikut serta dalam pertemuan tersebut.
Ia menegaskan bahwa kehormatan dan martabat adat harus dijunjung tinggi, dan pihaknya siap membawa perkara ini ke jalur hukum formal jika tidak ada penyelesaian secara adat.
Tantangan bagi Pemimpin Masa Depan
Kasus ini menyoroti perbedaan mendasar dalam kepemimpinan yang ditawarkan oleh Burhanuddin dibandingkan lawan politiknya. Burhanuddin, yang telah menunjukkan rasa hormatnya terhadap adat istiadat Moronene, semakin kuat dipandang sebagai figur yang mampu memimpin dengan menjunjung nilai-nilai budaya dan tradisi.
Di sisi lain, tindakan dari pihak yang mendukung lawan politiknya justru menunjukkan ketidakpedulian dan ketidakpahaman terhadap pentingnya harmoni sosial dan kearifan lokal.
Masyarakat Bombana kini dihadapkan pada pilihan besar: mendukung pemimpin yang menghormati tradisi dan menjaga martabat daerah, atau mendukung pihak yang tidak menghargai budaya setempat dan berpotensi memecah-belah kesatuan masyarakat.
Dengan semakin dekatnya waktu mediasi adat, para pemimpin adat Moronene dan masyarakat Bombana akan terus mengawasi perkembangan kasus ini.
Bagaimana pun, tindakan Heryanto dan reaksi dari lawan politik Burhanuddin dapat menjadi indikator penting bagi masyarakat dalam menentukan siapa yang paling layak untuk memimpin Bombana menuju masa depan yang lebih baik.
Komentar