Tajuk Rencana, Oleh: Redaksi
Kibar News, Bombana – Di Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi Tenggara, panggung politik dan olahraga tengah menyatu dalam satu arena pertarungan: pemilihan Ketua KONI Bombana. Bukan sekadar ajang olahraga, kini KONI menjelma gelanggang gladiator dua nama besar yang sedang memperebutkan tahta, yang sayangnya, bukan untuk lari estafet—melainkan lari dari semangat kolektif.
Di satu sisi, ada Iskandar, SP, Ketua DPRD Bombana yang dikenal tenang, rasional, dan tentu saja: Guru Politik sang Bupati. Di sisi lain, Ir. H. Burhanuddin, M.Si, Bupati Bombana yang entah kenapa merasa KONI pun harus ia genggam—seolah-olah jabatan yang sudah setinggi itu belum cukup memuaskan selera kontrolnya.
Seketika KONI tak lagi bicara soal prestasi atlet. Ia berubah menjadi ajang uji nyali dan ambisi.
Politik Posesif dan Aroma Otokratis dari Ruang Pendingin
Dulu, saat kampanye masih hangat dan panggung-panggung politik dipenuhi janji manis, Burhanuddin berkali-kali menyebut Iskandar sebagai guru politiknya. Sebuah pengakuan yang pada masa itu terdengar tulus, namun kini terasa seperti puisi yang dibaca saat lapar: tidak mengenyangkan.
Kini, belum genap setahun menjabat sebagai bupati, Burhanuddin justru menantang langsung “gurunya” dalam kontestasi KONI. Publik bertanya-tanya: ini masih soal pembinaan olahraga atau hanya pembinaan ego?
“Kenapa KONI juga harus dipegang sendiri, Pak? Bukankah sudah cukup dengan Bombana?” bisik sebagian warga yang mulai risih. “Atau jangan-jangan, KONI ini akronim baru: Kontrol Oleh Niat Individualis?”
ASN Juga Merasakan “Cengkeraman Lembut” Sang Bupati
Tak hanya soal KONI. Dalam tubuh birokrasi pemerintahan pun aroma posesif itu makin tercium. Setiap perjalanan dinas ASN, sekecil apapun, wajib mendapat tanda tangan basah dari Bupati Burhanuddin. Ya, basah. Mungkin karena tinta basah terasa lebih berkuasa.
Seorang ASN, yang namanya enggan disebut karena takut dipindahkan ke daerah pegunungan yang sinyalnya hanya muncul saat bulan purnama, berkata:
“Kita ini ASN atau anak kos yang kalau mau keluar harus minta izin pemilik rumah?”
Ketika Mesin Pemerintah Jadi Remote Control Satu Orang
Padahal sistem pemerintahan itu punya struktur. Ada kepala dinas, sekretaris, camat, kepala bidang, bahkan sampai tukang ketik surat yang tahu seluk-beluk perjalanan dinas. Tapi semua seakan jadi figuran dalam panggung besar “One Man Show” versi pemerintahan daerah.
Burhanuddin kini mulai dicap “terlalu sayang” pada Bombana, sampai tak mau daerahnya disentuh orang lain, bahkan oleh orang-orang yang dulu ia puji-puji. Padahal, menyayangi tidak selalu berarti memiliki. Kadang cinta itu juga tentang percaya dan berbagi.
Dari Guru Politik ke Lawan Politik
Iskandar sendiri, tak banyak bicara. Tapi langkahnya mendaftar sebagai calon Ketua KONI jelas bukan sekadar urusan voli. Ini adalah simbol. Sebuah pesan diam tapi tajam: bahwa demokrasi tidak boleh dimonopoli, apalagi di lapangan olahraga.
Ia adalah Ketua PBVSI Bombana, partai PKB yang jadi pemenang pileg, partai yang dahulu mengusung Burhanuddin dengan penuh semangat. Kini, partai itu seolah disingkirkan secara halus. Dibuang, bukan seperti mantan, tapi seperti benda yang tak pernah diinginkan sejak awal.
Antara Ambisi dan Efektivitas
Dari luar, mungkin Burhanuddin terlihat aktif. Tapi terlalu aktif pun bisa jadi penyakit, terutama jika semua hal ingin dikontrol sendiri. Seharusnya seorang pemimpin mampu mendelegasikan, bukan malah mengubah dirinya jadi “Superman” yang tak percaya siapa-siapa.
Rakyat tak butuh pahlawan yang serba bisa. Mereka hanya ingin sistem yang bekerja. Dan KONI? Seharusnya bukan jadi tempat uji coba emosi politik atau panggung peneguhan dominasi.
Pemilihan Ketua KONI Bombana kini tak lagi hanya soal siapa yang bisa mengurus olahraga. Tapi siapa yang bisa mengurus egonya sendiri.
Publik menanti bukan hanya siapa yang menang, tapi siapa yang lebih dewasa. Karena kadang, kekuasaan tak butuh tangan yang kuat, tapi hati yang lapang.
Dan untuk Pak Bupati—jika boleh menyarankan—cobalah sekali-sekali bermain catur. Biar tahu, menang itu bukan soal menghabisi lawan, tapi soal kapan harus melangkah, dan kapan harus diam.
Komentar