KIBAR.NEWS, POLITIK– Kabupaten Bombana sebantar lagi akan menyaksikan pertarungan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Bupati dan Wakil Bupati. Dalam kontestasi pemilihan kali ini, dipastikan bakal berlangsung sengit lantaran menjamurnya para bakal calon dan tidak adanya incumbent alias calon petahana yang ikut bertarung.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI juga telah menetapkan jadwal pelaksanaan Pilkada pada 27 November 2024. Kini, kalangan Bakal Calon Bupati (Bacabup) tengah memainkan catur politiknya melalui upaya merebut hati masyarakat, seperti survey syarat dukungan, restu partai dan berbagai upaya para calon petarung mendapatkan pintu.
Pilkada Bombana kali ini bakal lebih seru ketimbang Pilkada 2017. Dimana, pada saat itu, pemilihan digelar dengan cara “head to head” antara pasangan calon Tafdil-Johan Salim yang memegang nomor urut 02 dan Kasra Jaru Munara-Man Arfa sebagai pemegang nomor urut 01. Mereka beradu kekuatan politik lewat cara masing-masing, hingga Tafdil-Johan berhasil menang sebagai kepala daerah.
Kini, kursi bupati tengah diincar lebih dari 10 Bacabup. Mereka datang dari berbagai latar belakang, mulai dari Istri mantan Bupati Bombana Tafdil bernama Andi Nirwana Sebbu yang saat ini masih berstatus bintang senayan alias anggota DPD-RI Dapil Sultra. Setelah itu ada anak mantan Bupati Bombana prriode 2004-2009 Atikurahman (Khaekal), Mantan Penjabat Bupati Bombana 2022-2023 Burhanuddin. Adapula mantan Ketua DPRD Bombana 2014-2019 Andi Firman, tokoh pemekaran Bombana Sahrun Gaus, ada ketua DPRD Bombana 2019-2024 Arsyad, dan ada pula Andi Wawan anggota DPRD Bombana, ada Irda Siswanto yang berlatar belakang pengusaha, ada juga Faisal Banong sebagai aktifis handal, ada Hasmita yang kini berprofesi sebagai seorang dokter, termasuk bakal calon independent Abady Makmur. Ada pula beberapa bakal calon seperti Johan Salim, Hasrat dan lainnya.
Para bakal calon ini bermunculan dan mudah kita temukan di media sosial, spanduk maupun baleho yang terpajang di sudut atau simpang jalan. Hal ini menunjukkan bahwa nampaknya di bulan November nanti, nahkoda Bombana bakal diisi oleh pendatang baru. Sebab, tak ada incumbent maupun rival yang akan tampil di Pilkada kali ini.
Pilkada tanpa Incumbent boleh dikata angin segar bagi para kontestan. Sebab, hadirnya petahana dianggap cukup mempengaruhi medan politiik karena cukup mudah memainkan perannya untuk berkomunikasi ke seluruh lapisan masyarakat dan berpotensi menjadi lawan yang cukup berat. Pilkada tanpa calon petahana inilah yang menjadi kemungkinan sebab para bakal calon bermunculan dari segala arah.
Kesempatan ini menjadi peluang besar bagi para calon untuk beradu kekuatan politik. Sebanyak 8 Partai politik yang melenggang ke kursi parlemen Bombana pun memaksimalkan survey untuk menentukan siapa dan bagaimana kriteria para kontestan untuk diusung atau pun didukung pada kontestasi Pilkada kali ini.
Para pendatang baru pula akan memanfaatkan kesempatan itu sebaik mungkin untuk setidaknya meloloskan diri sebagai calon tetap dan berjuang mati-matian menjadi pemenang di Pilkada Bombana. Mereka pun memiliki titik keunggulan dan kelemahan masing-masing, dan hanya perlu memperkuat kuku dan memenuhi kriteria untuk bisa tampil bertarung di Pilkada Bombana.
Kembali ke pembahasan terkait Incumbent, dikutip dari media Tirto.id, istilah kata Incumbent ternyata memiliki arti yang bervariasi, yakni pada sisi bisnis maupun politik. Pada segi bisnis, istilah ini didefinisikan sebagai kemampuan perusahaan yang sudah maju untuk secara dinamis mengubah usia, ukuran, dan tradisi menjadi keunggulan utama kekuatan pasar, hubungan terpercaya dan wawasan mendalam.
Adapun dalam konteks Pilkada, sosok yang disebut sebagai petahana atau incumbent adalah kepala daerah seperti bupati, wali kota, ataupun gubernur yang sedang menjabat ikut dalam pemilihan dan bersaing dengan kandidat lain agar kembali terpilih.
Selain itu, dikutip dari situs rumahpemilu.org, incumbent juga sudah membangun relasi politik lebih awal ke berbagai organisasi maupun masyarakat selama berkuasa. Maka dari itu, jika diakumulasi, maka petahana memiliki modal politik lebih unggul dibandingkan kandidat lainya. Indonesia baru mengenal incumbent dalam konteks Pilkada mulai 2010. Landasan hukumnya adalah Pasal 70 ayat 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Isinya menyebutkan bahwa gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota yang mencalonkan kembali pada daerah yang sama tidak harus mundur dari jabatannya.
Mereka hanya perlu cuti dalam masa kampanye dan dilarang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya. Meskipun banyak kritikan karena dianggap bias demokratis, tetapi pola Pilkada dan Pilpres di Indonesia masih menganut incumbent.
Komentar